Mekanisme
Kerja Antibiotik yang
Menghambat
Sintesis Membran Sel
Nistatin dan amfoterisin B merupakan
senyawa polyen yang pada umumnya bekerja fungistatis. Mekanisme kerjanya adalah
melalui pengikatan diri pada zat-zat sterol di dinding sel jamur. Akibatnya
adalah kerusakan membran sel dan peningkatan permeabilitasnya, sehingga
komponen intraseluler yang penting untuk kehidupan sel merembas keluar.
1.
Nistatin
NISTATIN
NISTATIN
Nistatin
berasal dari Streptomyces noursei;
namanya diambil dari New York State Department of Health (1951) dan memiliki
struktur kimia yang menyerupai amfoterisin B. resorpsinya diusus praktis tidak
ada, begitu pula tidak diserap oleh kulit atau mukosa. Sering kali zat ini
digunakan pada kandidiasis usus atau guna mencegahnya pada terapi dengan antibiotika
berspektrum luas yang buruk resorpsinya (tetrasiklin) atau sewaktu terapi
dengan kortikosteroida, juga pada kandidiasis mulut (stomatitis, sariawan) atau
vagina (vaginitis), sedangkan lokal digunakan sebagai salep atau krem.
Berhubungan dengan toksisitasnya, nistatin tidak digunakan secara parenteral. (Tjay, dkk., 2007)
Nistatin memiliki aktivitas antifungi (anti
jamur), yaitu dengan mengikat sterol (terutama ergosterol) dalam membran sel
fungi. Nistatin tidak aktif melawan organisme (contohnya: bakteri) yang
tidak mempunyai sterol pada membran selnya. Hasil dari ikatan ini membuat membran tidak dapat berfungsi lagi sebagai
rintangan yang selektif (selective barrier), dan kalium serta komponen sel yang
lainnya akan hilang. Aksi utama nistatin adalah melawan Candida (Monilia) spp.
Nistatin
(Mycostatin), suatu obat anti jamur polien diberikan peroral atau topikal untuk
mengobati infeksi kandida. Obat ini tersedia dalam bentuk suspensi, krim,
salep, dan tablet vagina. Nistatin di absorbsi dengan buruk melalui saluran
gastrointestinal; tetapi bentuk tablet oralnya dipakai untuk kandidiasis
intestinal. Penggunaan nistatin yang lebih sering adalah suspensi oral untuk
infeksi kandida di dalam mulut. Klien diajarkan untuk mengulum cairan di dalam
mulut supaya terjadi kontak dengan selaput lendir, dan beberapa menit kemudian
cairan ditelan. Jika daerah tenggorokan juga terkena, beritahu klien untuk
berkumur dengan nistatin setelah mengulumnya sebelum menelan.
Farmakokinetik
Nistatin
di absorbsi dengan buruk. Kekuatan pengikatan pada protein dan waktu paruhnya
tidak diketahui. Obat ini diekskresikan tanpa mengalami perubahan ke dalam
feses.
Farmakodinamik
Nistatin
meningkatkan permeabilitas dinding sel jamur, sehingga sel jamur menjadi tidak stabil
dan mengeluarkan isinya. Obat ini mempunyai khasiat fungistatik dan fungisidal.
Mula kerja untuk bentuk suspensi dan tablet adalah cepat. Mula kerja untuk
tablet vagina atau krim kira-kira 24 jam atau lebih.
Indikasi:
-
Candidosis mulut (oral), esophagus, usus,
vagina, dan kulit.
-
Profilaksis candidiasis
-
Untuk pencegahan bagi pasien yang rentan
infeksi jamur topikal
Kontraindikasi :
-
Pasien yang hipersensitif terhadap Nistatin
Efek samping
Po
(Per oral) : anoreksia, mual, muntah, diare (dosis tinggi), kram abdomen, ruam
kulit.
Vag
(Vaginal) : ruam kulit, rasa terbakar. (Kee,
dkk., 1996)
Peringatan dan Perhatian
:
-
Dianjurkan untuk melakukan KOH smear,
kultur atau metoda diagnosa lainnya untuk menegakkan diagnosa kandidiasis dan bukannya infeksi karena patogen lainnya.
-
Walaupun sudah terjadi perbaikan gejala
pada awal pengobatan, pengobatan harus tetap diteruskan sesuai dosis yang
dianjurkan.
-
Jangan digunakan untuk pengobatan mikosis
sistemik.
-
Hentikan pengobatan bila terjadi iritasi
atau sensitisasi.
-
Pemberian pada wanita hamil dilakukan
dengan mempertimbangkan manfaat dan resikonyaterhadap janin.
-
Hati-hati bila diberikan pada wanita
menyusui.
2.
Amfoterisin B
Amfoterisin
B dihasilkan oleh Streptomyces nodosus
bersama dengan derivatnya, yaitu amfoterisin A yang kurang aktif. 98% campuran
ini terdiri dari amfoterisin B yang mempunyai aktivitas anti fungi. Zat ini
termasuk kelompok antibiotik polyen, karena rumus bangunnya mengandung banyak
ikatan tak-jenuh seperti juga nistatin dan primarisin. Spektrum – spektrum
kerja dan penggunaannya mirip nistatin. (Tjay,
dkk., 2007)
Amfoterisin
adalah obat antijamur spektrum luas yang digunakan untuk mengobati infeksi
sistemik yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh aspergilus, kandida atau
kriptokokus. Amfoterisin kurang baik diabsorbsi secara oral dan diberikan
melalui infus intravena atau intratekal, bila sistem saraf pusat terlibat.
Efek
samping sangat sering terjadi dan sebagian pasien mengalami demam, menggigil
dan mual. Terapi jangka panjang menyebabkan kerusakan ginjal yang hampir tidak
dapat dielakkan, yang reversibel hanya jika dideteksi sejak dini. Amfoterisin
yang diformulasikan dalam liposom agak kurang toksik. (Neal, 2006)
Menurut
(Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijiaya, 2004), amfoterisin B dalam
dosis terapeutik sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal dan fungsi
hepatoseluler serta menimbulkan anemia. Kecepatan filtrasi glomerulus menurun
dan terdapat perubahan fungsi tubuler ginjal. Hal ini dapat menurunkan kliren
kreatinin dan meningkatkan kliren kalium. Selain itu, dapat terjadi penurunan
tekanan darah sampai syok, gangguan keseimbangan elektrolit (khususnya
hipokalemia) dan berbagai gejala neurologik. Bila terdapat gangguan fungsi
ginjal, dosis amfoterisin B harus diturunkan.
Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel
matang. Aktivitas anti jamur nyata pada pH 6,0-7,5; berkurang pada pH yang
lebih rendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung
pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-1,0 µg/mL
antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma
capsulaium, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis dan beberapa
spesies Candida, Tondopsis glabrata,
dll.
Waktu Paruh Obat
Waktu paruh,
dilambangkan dengan t1/2, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh
separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi mempengaruhi waktu paruh obat,
contohnya, pada kelainan fungsi hati dan ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih
panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisme dan dieliminasi. Jika suatu obat
diberikan secara terus-menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
Kerja obat dapat
berlangsung beberapa jam, hari, minggu atau bulan. Lama kerja tergantung dari
waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk
menentukan interval dosis obat. Obat-obat dengan waktu paruh pendek, seperti
penisilin G (t1/2nya 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan
waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika
sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam
sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat
menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu
paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya
pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.
Suatu obat akan melalui
beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika
seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah 3
jam, maka dibutuhkan waktu 3 jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi
325 mg, dan waktu paruh kedua (atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg
berikutnya, dan seterusnya, sampai pada waktu paruh keenam (atau 18 jam) dimana
tinggal 10 mg aspirin terdapat dalam tubuh.
Waktu paruh selama 4-8
jam dianggap singkat dan 24 jam atau lebih dianggap panjang. Jika suatu obat
memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan
beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya. (Kee, dkk., 1996)
Waktu Henti Obat
Meningkatnya penggunaan antibiotika pada hewan ternak
dapat menimbulkan beberapa masalah, diantaranya yaitu residu antibiotika.
Residu antibiotika adalah senyawa asal atau metabolitnya yang terdapat dalam
jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat yang
dimaksud. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya residu yaitu apabila masa
panen atau pemotongan tidak memperhatikan waktu henti (withdrawal time) yaitu waktu yang perlu dilewati agar residu
antibiotik tersebut berkurang sampai batas aman untuk dikonsumsi. Pemakian
antibiotika sebagai imbuhan pakan memperbesar peluang residu karena ternak
dalam proses produksinya akan mengkonsumsi pakan yang mengandung antibiotika
terus menerus sampai dipotong. (Rooslamiati,
2006)
Dalam rangka penggunaan obat , sangat penting adalah
waktu henti obat (withdrawal time)
yang tidak sama untuk semua jenis obat. Dengan waktu henti obat dimaksudkan
jangka waktu antara pemberhentian obat dan saat ayam boleh dipotong untuk
dikonsumsi. Waktu henti obat itu diperlukan supaya obat dalam badan ayam hilang
sama sekali atau sekurang-kurangnya tidak melebihi ambang batas toleransi.
Misalnya waktu henti obat untuk antibiotika jenis ampisilin yang diberikan
melalui injeksi adalah lima hari. Memberikan obat dengan overdosis atau tidak
mematuhi waktu henti obat bisa berakibat besar bagi keamanan konsumen.
Pemakaian obat hewan dengan cara tidak tepat seperti itu bisa menyebabkan
residu obat dalam telur atau daging yang kemudian termakan oleh manusia
konsumen. Dengan itu kesehatan tentu terancam.(Bertens, 2000)
Waktu henti obat dipengaruhi oleh
proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi dari obat yang bersangkutan. Proses
tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain umur, jenis hewan, status
kesehatan, nutrisi hewan, serta sifat kimia dan fisika dari obat seperti bobot
molekul, kelarutan dalam air maupun lemak dan ikatannya dengan protein tubuh.
Menurut Ditjennak (1993) yang diacu dalam Murdiati (1997), waktu henti pensilin
G yang diaplikasikan secara injeksi pada ayam adalah 5 hari, sedangkan pada
sapi yang diaplikasikan secara injeksi adalah 30 hari. Antibiotik golongan β
laktam yang sering digunakan sebagai obat pilihan pertama di peternakan adalah
penisilin. Penisilin sering digunakan karena tidak
menimbulkan efek
samping yang toksik dan bersifat bakterisidal. (Wijaya, 2011)
Drug of Choice
Obat
berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan
berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau
farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan
pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit.
Tidak kalah penting, obat harus selalu digunakan secara benar agar memberikan
manfaat klinik yang optimal. Terlalu banyaknya jenis obat yang tersedia
ternyata juga dapat memberikan masalah tersendiri dalam praktek, terutama
menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara benar dan aman.
Obat esensial adalah obat terpilih
yang paling diperlukan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis,
profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Dari sisi medis, obat
esensial sedikit banyak dapat dikaitkan dengan obat pilihan (drug of choice). Dalam hal ini hanya obat yang
terbukti memberikan manfaat klinik paling besar, paling aman, paling ekonomis,
dan paling sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada yang dimasukkan
sebagai obat esensial.
Tujuan kebijakan obat esensial
adalah untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan dan
pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya
yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kriteria obat esensial
yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan juga telah diadopsi di
Indonesia adalah sebagai berikut:
·
Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit risk ratio)
yang paling menguntungkan pasien
·
Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan
hayati (bioavailability)
·
Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
·
Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang
disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan
·
Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh
pasien
·
Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio)
yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung
·
Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki
efek terapi yang serupa,maka pilihan diberikan kepada obat yang:
o
Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data
ilmiah
o
Sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak
menguntungkan
o
Stabilitas yang paling baik
o
Paling mudah diperoleh
o
Obat yang telah dikenal
·
Obat jadi kombinasi tetap, dengan kriteria sebagai
berikut:
o
Obat bermanfaat bagi pasien hanya bila dalam bentuk
kombinasi tetap
o
Kombinasi tetap terbukti memberikan khasiat dan
keamanan lebih baik dibanding masing-masing komponennya
o
Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan
perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi
tersebut.
o
Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat dan
keamanan
o
Kombinasi antibakteri harus dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya resistensi atau efek merugikan lain.
Di Indonesia, penerapan DOEN harus
dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di semua unit pelayanan
kesehatan.(Badan POM RI)
Daftar Pustaka
Bertens,
K. 2000. Pengantar Etika Bisnis.
Kaninus: Yogyakarta.
Kee,
J. L. dan Evelyn R. H. 1996. Farmakologi
Pendekatan Proses Keperawatan. EGC: Jakarta.
Neal,
M. J. 2006. Farmakologi Medis.
Penerbit Erlangga: Jakarta.
Rooslamiati,
I. 2006. Penetapan Kadar Residu Spiramisin dalam Daging Ayam di Jakarta, Cibinong dan
Sukabumi. Media Litbang Kesehatan.16:
(1).
Staf
Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijiaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. EGC: Jakarta.
Tjay,
T. H. dan Kirana R. 2007. Obat – Obat
Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. PT Elex Media
Komputindo: Jakarta.
Wijaya, M. R. 2011. Residu Antibiotik pada Daging
Ayam dan Sapi dari Pasar Tradisional
di Provinsi Jawa Barat. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
0 komentar:
Post a Comment